Nama kelompok teater Dardanella sempat   sangat tersohor pada tahun 40-an. Teater pimpinan pria berkebangsaan   Inggris keturunan Rusia bernama Pedro (Willy Klimanoff) ini bukan saja   harum namanya di Indonesia tapi juga dunia. Mereka kerap manggung di   luar negeri, dari Asia hingga Eropa.
Dardanella mencapai puncak keemasan   ketika diperkuat dua seniman serba bisa Tan Tjeng Bok dan Devi Dja. Pada   masa itu, mereka merupakan roh pertunjukan Dardanella. Tan Tjeng Bok  mendapat  julukan “Douglas Fairbanks van Java” sementara Devi Dja  “Bintang dari  Timur” (Star From the east).
Minim Literatur
Saat ini agak sulit mencari biografi Devi   Dja secara lengkap, kecuali mungkin di buku otobiografi “Gelombang   hidupku, Devi Dja dari Dardanella” karya (Alm) Ramadhan KH yang dicetak   tahun 1982 oleh penerbit Sinar Harapan. Sayangnya, buku itu pun  sekarang  sudah tergolong langka.
Saking langka dan minimnya literatur   tentang sosok wanita ini, Matthew Cohen PhD, staf pengajar di University   of London dalam sebuah diskusi kesenian Bali-Jawa di Amerika ‘Dewi Dja   Goes to Hollywood’ Maret lalu, tertarik untuk mendokumentasikan  kembali  kehidupan Devi Dja bersama kelompoknya di Amerika Serikat dalam  sebuah  buku yang sedang disusunnya bertajuk ‘Performing Java and Bali on  International Stages: Routes from the Indies, 1905-1952’.
Yang jelas, biografi wanita ini dalam   literatur kesenian Indonesia sangat minim. Entah jika di Amerika sana,   tempat dimana dia kemudian menghabiskan sisa hidupnya.
Siapa Devi Dja?
Menurut catatan Ramadhan KH, Devi Dja   atau “Bintang Dari Timur” lahir pada 1 Agustus 1914 di Sentul,   Yogyakarta, dengan nama kecil Misria dan kemudian menjadi Soetidjah. Dia   sering menguntit kakek dan neneknya, Pak Satiran dan Bu Sriatun,  ngamen  berkeliling kampung memetik siter. Devi Dja memang memiliki  minat seni  sejak kecil. Dia juga berangkat dari keluarga Jawa yang  miskin di awal  abad ke-20.
Saat mereka sedang ngamen di daerah   Banyuwangi, dimana pada waktu bersamaan grup sandiwara yang lain,   Dardanella pimpinan Pedro (Willy Klimanoff) yang sudah terkenal, juga   main di Banyuwangi.
Pedro mengaku tertarik dengan Soetidjah   dan langsung melamarnya. "Ternyata Pedro melihat pertunjukan kami.   Katanya ia tertarik pada saya ketika saya menyanyikan lagu Kopi Soesoe   yang ketika itu memang sedang populer," tutur Devi Dja ketika berkunjung   ke Jakarta menjenguk Tan Tjeng Bok yang sedang terbaring sakit tahun   80-an.
Meski keluarga Soetidjah keberatan,   akhirnya Soetidjah mau menerima pinangan Pedro dan bergabung sebagai   pemain Dardanella. Soetidjah tak penah mengenyam pendidikan sebelumnya,   dia baru belajar baca dan menulis latin ketika bergabung di Dardanella   pada usia 14 tahun.
Di tahun awalnya bergabung, Soetidjah   hanya dapat peran-peran kecil dan lebih sering menjadi penari yang   tampil dalam pergantian babak. Bintang Soetidjah mulai bersinar ketika   pemeran utama wanita Dardanella, Miss. Riboet jatuh sakit.
Soetidjah pun didaulat memerankan tokoh   Soekaesih—peran yang selama ini dipegang Miss. Riboet—dalam lakon   “Dokter Syamsi”. Meskipun usianya baru 16 tahun ketika itu, akting   Soetidjah cukup meyakinkan yang kemudian dipanggil Erni oleh   kawan-kawannya.
Keliling Dunia, Nginap di Rumah  Mahatma Gandhi lalu  Berlabuh di Amerika
Dan sejak itu, karirnya di Dardanella   mulai menanjak. Perlahan tapi pasti ia berhasil menjadi menyaingi   ketenaran Miss. Riboet dan Fifi Young, dua wanita pemeran utama   Dardanella. Bersama Tan Tjeng Bok, Soetidjah menjadi sosok penting dalam   kisah sukses grup Dardanella. Dia lalu terkenal dengan nama Miss. Devi   Dja.
Saat Dardanella pertama kali mentas di  luar negeri, Devi Dja baru 17 tahun. Usia yang kata Devi Dja lagi seger-segernya.   Menurut catatan Ramadhan KH, saat Dardanella manggung di luar negeri,   nama kelompok Dardanella mulai berganti-ganti, dengan personil yang  juga  berganti-ganti. Kecuali Pedro dan Devi Dja tentunya.
Dardanella lalu main di Hongkong, New   Delhi, Karachi, Bagdad, Basra, Beirut, Kairo, Yerusalem, Athena, Roma.   Terus keliling Negeri Belanda, Swiss, dan Jerman. Pada Mei 1937 saat   manggung di India, rombongan mereka disaksikan oleh Jawaharlal Nehru   yang kemudian jadi pemimpin negeri itu. Kabarnya Pedro dan Devi Dja   sempat menginap di rumah Mahatma Gandhi.
Dan seperti dituturkan Devi Dja pada   Majalah Tempo di tahun 80-an, saat bermain di luar negeri, Dardanella   berubah namanya menjadi “The Royal Bali-Java Dance”. "Kami lebih   mengutamakan tari-tarian daripada sandiwara, sebab khawatir penonton   tidak tahu bahasanya," katanya.
Devi Dja juga masih ingat ketika perang   dunia pertama mulai berkecamuk, mereka sedang berada di Munich, Jerman.   Saat itulah keadaan masyarakat dunia sedang dalam kegelisahan yang juga   dialami oleh personel “The Royal Bali-Java Dance” (Dardanella) terkait   situasi perang.
Ramadhan KH   menulis, di tengah kegelisahan masyarakat Eropa khususnya, Pedro   kemudian mengambil keputusan menyeberang ke Amerika saat mereka sedang   berada di Belanda. Akhirnya bersama rombongan kecil Dardanella, Devi Dja   naik kapal "Rotterdam" menuju Amerika.
Perhitungan   Pedro ketika itu barangkali karena negara Amerika relatif lebih   menjanjikan, lagipula Amerika tidak terlibat terlalu jauh dalam perang   dunia pertama.
Dengan nama tenar yang   disandangnya, sesampainya di Amerika mereka mendapat sponsor dari   Columbia untuk mementaskan karya-karya mereka di hampir seluruh kota   besar Amerika. "Kami keliling, tidur di trem saja. Cuma di New York   menetap dua minggu," tutur Devi Dja.
Berita Devi Dja di sebuah harian Amerika
Sudah merasa   cukup lama di Amerika mereka bermaksud kembali ke tanah air, tapi Perang   Dunia II keburu pecah dan Indonesia diduduki Jepang. Akhirnya mereka   tertahan di Amerika tidak bisa pulang.
Setelah  perang usai anggota rombongan tinggal belasan orang, sebab sebagian  berusaha pulang. Dan semangat pun mulai luntur.
Demi  bertahan hidup di Amerika, Pedro dan Devi Dja membuka sebuah niteclub  bernama  Sarong Room di Chicago, yang sayang terbakar habis pada  1946. Pedro  akhinya merasa tak tahan dan meninggal dunia di Chicago  tahun 1952.
Di   masa awal kemerdekaan Indonesia, Devi Dja sempat bertemu Sutan Syahrir   yang tengah memimpin delegasi RI untuk memperjuangkan pengakuan   Internasional terhadap kemerdekaan Indonesia di markas PBB New York   tahun 1947. Oleh Syahrir, dia sempat diperkenalkan sebagai duta   kebudayaan Indonesia kepada masyarakat Amerika. Dan namanya pun makin   dikenal di negara itu. Sebab itu tak sulit baginya mendapatkan   kewarganegaraan Amerika.
Tahun   1951 Devi resmi menjadi warga negara Amerika. Sepeninggal Pedro, Devi   masih sempat mementaskan kebolehannya dari pangung ke panggung bersama   anggota kelompok yang tersisa. Devi menikah dengan seorang seniman   Indian bernama Acce Blue Eagle.
Menurut   Ramadhan KH, pernikahan itu hanya berlangsung sebentar. Acce tidak  suka  Devi Dja bergaul dengan sesama masyarakat Indonesia di Amerika.  Sedang  itu adalah dunia Dewi Dja. Apalagi setelah terbetik kabar, bahwa   Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya.
Setelah   itu Devi terbang ke Los Angeles, kesempatan karir terbentang di sana.   Devi Dja sempat menari di depan Claudette Colbert yang takjub oleh  gerak  tangan dan kerling mata Devi Dja. Kabarnya Devi hampir terpilih  untuk  mengambil peran dalam salah satu film produksi Hollywood. Tapi  sayang,  karena bahasa Inggrisnya kurang fasih. Dia gagal mendapatkan  kesempatan  itu.
Dia   lalu menikah lagi dengan orang Indonesia asal gresik yang menetap di   Amerika bernama Ali Assan. Dari Ali Assan ini Devi memperoleh satu anak   perempuan yang diberi nama Ratna Assan. Tapi usia pernikahan mereka tak   lama, mereka pun bercerai.
Kesibukaannya   di Amerika adalah mengajarkan tari-tarian daerah kepada penari-penari   Amerika. Devi mengaku meski namanya sudah terkenal sebagai penari, tapi   kehidupan kala itu susah, mengingat dunia habis dicabik-cabik perang.
Namun   Devi mengaku beruntung berteman dengan selebriti Hollywood yang  menjadi  teman akrabnya. Ia akrab dengan Greta Garbo, Carry Cooper, Bob  Hope,  Dorothy Lamour, dan Bing Crosby. Merekalah yang banyak membantu  Devi  dalam memberikan kesempatan.  Devi juga sempat bermain dalam beberapa film,  antara lain The Moon And Sixpence, riwayat hidup pelukis  Prancis Paul Gaugin. Dia juga membintangi atau menjadi koreografer film Road  to Singapore (1940), Road to Morocco (1942), The  Picture of Dorian Gray (1945), Three Came Home (1950) dan Road  to Bali (1952). Di Los Angeles Dewi juga rutin mengisi acara  televisi lokal.
Anaknya,  Ratna Assan sempat bermain sebagai pemeran pendukung dalam film Papillon   (1973) yang dibintangi Steve Mc Quin dan Dustin Hoffman. Tapi Ratna   Assan kemudian tidak melanjutkan karir aktingnya di Hollywood, sesuatu   yang amat disesali Devi Dja mengingat anaknya itu fasih berbahasa   Inggris, tidak seperti dirinya.
Hari-Hari  Terakhir
Dalam bukunya Ramadhan KH menulis bahwa Devi Dja pernah  memimpin  float Indonesia (float "Indonesian Holiday",  dengan  sponsor Union Oil) dalam "Rose Parade" di Pasadena, tahun 1970.  Dia  menjadi orang pertama Indonesia yang memimpin rombongan Indonesia  yang  turut serta dalam Rose Parade di Pasadena itu.
Waktu   tanda penghargaan sampai padanya, ia panggil anaknya, Ratna "Ini  Ratna,  bacalah!" Penghargaan bagi kalian, bagi kita." "Ya Mamah. Kali  lain  kita harus mempertunjukkan sesuatu yang lebih bagus lagi".
“Air   mataku menetes lagi, kata Dewi Dja. Entah mengapa. Barangkali karena   cintaku sedemikian besar kepada sesuatu yang jauh daripadaku. Aku tidak   bisa melepaskannya. Tidak bisa! Seluruh hatiku tercurah baginya.   Indonesiaku, engkau jauh di mata, tetapi senantiasa dekat di hatiku,   bahkan menggelepar hidup di dalam jantungku.” kata Devi dalam buku  itu.
Namun   ternyata bukan cuma itu, Devi Dja pernah tampil membela pemuda-pemuda   Indonesia di Pengadilan Los Angeles ketika berita tentang "Perbudakan  di  Los Angeles" marak. Devi tampil membela pemuda-pemudi Indonesia yang   dirantai dihadapkan ke pengadilan di Los Angeles.
Namun   berkat campur tangan Dewi Dja bersama Staf KJRI RI Los Angeles,   Pruistin Tines Ramadhan (alm), dan Dirjen Protokol Konsuler di Deplu   Pejambon waktu itu, Joop Ave, persoalan "budak-budak" dari Indonesia itu   terselesaikan, tidak masuk bui.
Di Los Angeles Devi Dja   tinggal di kawasan Mission Hill, San Fernando Valley, 22 km utara Los   Angeles. Di rumah berkamar tiga di pinggiran kota itu ia tinggal bersama   putri satu-satunya, Ratna Assan. Semasa pensiun Devi Dja mendapat   sedikit uang pensiun dari Union Arts, tempat dimana dia bergabung.
Batu nisan Devi Dja di Hollywood Hills
Tahun 1982 saat berusia 68 tahun, Devi   Dja pernah pulang ke Indonesia atas undangan Panitia Festival Film   Indonesia. Dia sempat menjenguk kolega lamanya Tan Tjeng Bok yang   tergolek lemah di rumah sakit sebelum meninggal dunia tahun 1985.
Devi Dja kemudian meninggal di Los   Angeles pada tanggal 19 Januari 1989 dan dimakamkan di Hollywood Hills,   Los Angeles. Catatan tentang Dewi Dja sempat ditulis dalam beberapa  buku  diantaranya Standing Ovations: Devi Dja, Woman of Java karya  Leona Mayer Merrin, terbit pada 1989 dan dalam buku memoar suaminya Lumhee  Holot-Tee – The Life and Art of Acee Blue Eagle.
Dardanella mencapai puncak keemasan ketika diperkuat dua seniman serba bisa Tan Tjeng Bok dan Devi Dja. Pada masa itu, mereka merupakan roh pertunjukan Dardanella. Tan Tjeng Bok mendapat julukan “Douglas Fairbanks van Java” sementara Devi Dja “Bintang dari Timur” (Star From the east).
Minim Literatur
Saat ini agak sulit mencari biografi Devi Dja secara lengkap, kecuali mungkin di buku otobiografi “Gelombang hidupku, Devi Dja dari Dardanella” karya (Alm) Ramadhan KH yang dicetak tahun 1982 oleh penerbit Sinar Harapan. Sayangnya, buku itu pun sekarang sudah tergolong langka.
Saking langka dan minimnya literatur tentang sosok wanita ini, Matthew Cohen PhD, staf pengajar di University of London dalam sebuah diskusi kesenian Bali-Jawa di Amerika ‘Dewi Dja Goes to Hollywood’ Maret lalu, tertarik untuk mendokumentasikan kembali kehidupan Devi Dja bersama kelompoknya di Amerika Serikat dalam sebuah buku yang sedang disusunnya bertajuk ‘Performing Java and Bali on International Stages: Routes from the Indies, 1905-1952’.
Yang jelas, biografi wanita ini dalam literatur kesenian Indonesia sangat minim. Entah jika di Amerika sana, tempat dimana dia kemudian menghabiskan sisa hidupnya.
Siapa Devi Dja?
Menurut catatan Ramadhan KH, Devi Dja atau “Bintang Dari Timur” lahir pada 1 Agustus 1914 di Sentul, Yogyakarta, dengan nama kecil Misria dan kemudian menjadi Soetidjah. Dia sering menguntit kakek dan neneknya, Pak Satiran dan Bu Sriatun, ngamen berkeliling kampung memetik siter. Devi Dja memang memiliki minat seni sejak kecil. Dia juga berangkat dari keluarga Jawa yang miskin di awal abad ke-20.
Saat mereka sedang ngamen di daerah Banyuwangi, dimana pada waktu bersamaan grup sandiwara yang lain, Dardanella pimpinan Pedro (Willy Klimanoff) yang sudah terkenal, juga main di Banyuwangi.
Pedro mengaku tertarik dengan Soetidjah dan langsung melamarnya. "Ternyata Pedro melihat pertunjukan kami. Katanya ia tertarik pada saya ketika saya menyanyikan lagu Kopi Soesoe yang ketika itu memang sedang populer," tutur Devi Dja ketika berkunjung ke Jakarta menjenguk Tan Tjeng Bok yang sedang terbaring sakit tahun 80-an.
Meski keluarga Soetidjah keberatan, akhirnya Soetidjah mau menerima pinangan Pedro dan bergabung sebagai pemain Dardanella. Soetidjah tak penah mengenyam pendidikan sebelumnya, dia baru belajar baca dan menulis latin ketika bergabung di Dardanella pada usia 14 tahun.
Di tahun awalnya bergabung, Soetidjah hanya dapat peran-peran kecil dan lebih sering menjadi penari yang tampil dalam pergantian babak. Bintang Soetidjah mulai bersinar ketika pemeran utama wanita Dardanella, Miss. Riboet jatuh sakit.
Soetidjah pun didaulat memerankan tokoh Soekaesih—peran yang selama ini dipegang Miss. Riboet—dalam lakon “Dokter Syamsi”. Meskipun usianya baru 16 tahun ketika itu, akting Soetidjah cukup meyakinkan yang kemudian dipanggil Erni oleh kawan-kawannya.
Keliling Dunia, Nginap di Rumah Mahatma Gandhi lalu Berlabuh di Amerika
Dan sejak itu, karirnya di Dardanella mulai menanjak. Perlahan tapi pasti ia berhasil menjadi menyaingi ketenaran Miss. Riboet dan Fifi Young, dua wanita pemeran utama Dardanella. Bersama Tan Tjeng Bok, Soetidjah menjadi sosok penting dalam kisah sukses grup Dardanella. Dia lalu terkenal dengan nama Miss. Devi Dja.
Saat Dardanella pertama kali mentas di luar negeri, Devi Dja baru 17 tahun. Usia yang kata Devi Dja lagi seger-segernya. Menurut catatan Ramadhan KH, saat Dardanella manggung di luar negeri, nama kelompok Dardanella mulai berganti-ganti, dengan personil yang juga berganti-ganti. Kecuali Pedro dan Devi Dja tentunya.
Dardanella lalu main di Hongkong, New Delhi, Karachi, Bagdad, Basra, Beirut, Kairo, Yerusalem, Athena, Roma. Terus keliling Negeri Belanda, Swiss, dan Jerman. Pada Mei 1937 saat manggung di India, rombongan mereka disaksikan oleh Jawaharlal Nehru yang kemudian jadi pemimpin negeri itu. Kabarnya Pedro dan Devi Dja sempat menginap di rumah Mahatma Gandhi.
Dan seperti dituturkan Devi Dja pada Majalah Tempo di tahun 80-an, saat bermain di luar negeri, Dardanella berubah namanya menjadi “The Royal Bali-Java Dance”. "Kami lebih mengutamakan tari-tarian daripada sandiwara, sebab khawatir penonton tidak tahu bahasanya," katanya.
Devi Dja juga masih ingat ketika perang dunia pertama mulai berkecamuk, mereka sedang berada di Munich, Jerman. Saat itulah keadaan masyarakat dunia sedang dalam kegelisahan yang juga dialami oleh personel “The Royal Bali-Java Dance” (Dardanella) terkait situasi perang.
Berita Devi Dja di sebuah harian Amerika
Batu nisan Devi Dja di Hollywood Hills


 
 
 
 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar